PROSA FIKSI (CERPEN)
Pengemis Misterius
Gila!
Orang itu benar-benar tak punya malu. Dasar dekil. Gembel. Bayangkan,
bagaimana hati tak dongkol, beberapa hari yang lalu, ia memelas
kepadanya. Kemarin begitu, kemarinnya juga begitu. Sekarang pagi-pagi
sudah absen di depan mata.
Badrun
gondok setengah mati. Ia masih ingat betul peristiwa beberapa hari yang
lalu. Pengemis gembel itu memelas dengan kata-kata mengiba.
Badrun
gelagapan. Padahal ia belum mendapat order satu barang pun; sebuah
sendal kulit, sepatu, tas, atau apa saja yang bisa mendatangkan rupiah.
“Tolong, Bang... sedekahnya”
“Aduh!
Sabar kek kenapa, sich?” gerutu hati Badrun. Tangannya masih lincah
mencari-cari uang recehan di dalam laci. Tidak ada. Hanya ada uang logam
kecil sebesar kancing baju. Seratus perak. Badrun tak tega memberi uang
sekecil itu. Tak sampai hati. Apalagi zaman sekarang orang-orang sudah
sangat peka terhadap nilai uang. Era globalisasi rupanya sudah mengubah
watak dan sikap manusia terhadap sesuatu yang bernama materi. Tidak di
kota, tidak di desa. Juga pengamen dan pengemis gembel itu. Badrun
pernah menyaksikan seorang pengamen melempar uang logam hasil pemberian
orang.
“Huh!
Emang gue ini siape? Masa Cuma dikasih cepe. Keterlaluan. Buat beli
rokok sebatang pun ta dapat,” kata pengamen itu kepada temannya.
“Gocap juga uang, kok...” Balas temannya sambil tertawa.
“Semprul, lu!”
“Mungkin dia tidak punya uang kecil selain cepean itu. Masih untung orang itu mau memberi.”
“Tampangnya
saja bonafid, tapi pelitnya minta ampun. Masa suara gue Cuma dihargai
cepe. Terlalu. Padahal, saya sengaja memilih lagu terbarunya Broery
Marantika. Padahal, suaraku lebih merdu dari suaranya Doel Sumbang.
Padahal, kita pernah menjuarai festival ngamen se-kecamatan ya, Jim”
“Ya, ya... tapi jangan ngoceh terus. Yuk kita cari order lagi!”
Badrun
tak habis pikir. Rupanya pengemis (juga pengamen) sekarang punya hukum
tak tertulis tentang standar upah minimum mengemis dan mengamen.
Badrun
mengambil dompetnya yang sudah lecek. Satu lembar ratusan berwarna
merah terselip dalam dompetnya. Sekarang ia tak perlu pusing-pusing
lagi. Dan yang terpenting agar orang tua dekil itu segera berlalu di
hadapannya.
Sebenarnya
Badrun bisa saja menolak (bukan berarti mengusir) secara halus. Bilang
saja tidak ada uang kecil. atau, maaf Pak pengemis, saya belum dapat
order. Atau saya lagi bokek. Lain kali saja, ya..gitu! Namun hati
kecilnya tak mampu untuk melakukannya. Untuk berbohong pun, ia tak
sanggup. Apalagi sekarang adalah bulan suci.
Almarhum
ayahnya pernah berpesan agar selalu berbuat baik terhadap sesama. anak
yatim dan peminta-minta, jangan dihardik, apalagi diusir. Kalau toh tak
mampu memberi, katakan dengan cara yang sopan dan lemah lembut.
Wejangan
ayahnya itu terus terekam dalam hatinya. Seperti sebuah “amanat” yang
harus dipikulnya kelak. Memang benar, karena beberapa tahun setelah
kematian ayahnya, Badrun ditinggal mati oleh istri tercinta, Siti
Rahimah. Badrun sangat kehilangan. apalagi anak-anak yang
ditinggalkannya masih kecil.
Bagi
Badrun, istrinya bukan saja pelipur di kala duka, tetapi ikut juga
membantu secara ekonomis. untuk memenuhi hajat keluarga, istrinya
berjualan rujak uleg dekat Pasar Kramat. Jerih payah istrinya itu sangat
membantu. Apalagi ketika Badrun menganggur setelah becak dilarang
beroperasi. Setelah menganggur, Badrun mencari kebutuhan hidup dengan
usaha lain di kota ini.
Badrun memberi uang kepada pengemis. Dengan rasa suka cita, pengemis segera berlalu hingga hilang ke tengah keramaian pasar.
Besoknya pengemis datang lagi. Saat itu matahari sudah berada di atas ubun-ubun langit. Udara kota menyengat pori-pori bumi.
Binatang melata menggelepar-gelepar kepanasan di atas aspal. Peluh dan keringat jatuh bercucuran.
Badrun
menyeka peluh di wajahnya. Hampir setengah hari ia menunggu. Namun tak
seorang pun yang lewat memberikan order jahitan. Badrun gelisah.
Terbayang satu per satu wajah anak-anak yatim di rumahnya. Mereka
menunggu rezeki dengan harap-harap cemas. Apalagi sekarang mendekati
lebaran Idul Fitri.
Dalam
kegamangan dan penantian yang panjang, muncul pengemis mirip
kakek-kakek. Badrun sangat mengenalnya karena hampir setiap hari ia
datang meminta kepadanya.
Pengemis
itu sudah uzur. Badannya setengah bungkuk. Pakaiannya compang camping
tak karuan. ia berjalan tertatih-tatih dengan menggunakan tongkat
penyangga. Lama sekali ia mendekatseperti jalannya kura-kura. Ia
berjalan sambil menahan sebelah kakinya yang pincang.
Entah
mengapa, ada perasaan iba yang menusuk-nusuk hati Badrun. Syukurlah,
selama ini ia tak pernah menolak permintaannya. Tidak seperti pemilik
toko sebrang jalan yang sering menolak pengemis itu. Atau pemilik toko
di sudut jalan yang membiarkannya menunggu berlama-lama di depan toko
hingga membuat pengemis segera berlalu dengan tangan hampa.
Badrun
mengamati pengemis itu. Tiba-tiba ia terjatuh di dekat trotoar kaki
lima. Hampir saja ia terjerebab dalam blumbangan kotor. Badrun segera
berlari memberikan pertolongan.
“Bapak siapa?” tanya pengemis. Wajahnya tampak lelah.
“Saya Badrun. Tukang sol.”
“Oh.. nama yang sungguh indah. Tuan seperti bulan purnama yang menerangi jiwaku.”
Badrun
kaget. Ia sendiri tidak begitu perduli dengan namanya. Yang jelas,
emaknya pernah cerita bahwa ia dilahirkan pada malam bulan purnama.
Untuk itu dinamai Badrun. Bulan purnama!
“Bapak siapa?” Badrun balik bertanya.
“Saya Ibnu Sabil.”
“Datang dari daerah mana?”
“Saya datang dari Negeri Samawat, negeri yang sangat jauh. Sudahlah.. e, maaf sekedar bertanya, Bapak puasa?”
“Oh,...tentu. Itu kewajiban saya selaku muslim. Saya melaksanakannya semata-mata mengharap ridha Allah.”
“Baarokallah. Semoga Allah melipatgandakan pahala puasamu.”
Kemudian
keduanya terdiam. Lama. Udara semakin meranggas. Pengemis mendengus.
Wajahnya tampak semakin lelah. Namun, dia balik semua itu Badrun melihat
keanehan pada wajah pengemis. Sinar matanya penuh wibawa. Tampak bukan
seperti pengemis,
“Di
kota ini, orang sepertiku dianggap seperti kuman penyakit menular. Kota
ini sungguh tak bersahabat,” kata pengemis melanjutkan pembicaraan.
“Kami
benar-benar tak mengerti. Padahal di kota ini banyak bermunculan
pengemis-pengemis profesional dengan segudang fasilitas yang nyaman lagi
aman. Mereka berkeliaran bebas tanpa rasa takut dan cemas. Tidak seperti kami yang sering diusir, dikejar-kejar seperti anjing gila.”
“Maksud Bapak, mereka itu siapa?”
“Bapak
tak kan mengerti karena Bapak bukan pengemis. Bapak bukan tipe manusia
yang suka mengemis. Manusia sehat, kuat tapi pemalas. Manusia yang
bisanya mengharap uluran tangan orang lain. Mereka benar-benar pengacau.
Karena ulah mereka, kami kena getahnya. Bersama mereka, kami
dikejar-kejar petugas razia.”
Badrun
semakin heran. Pengemis itu bukan orang sembarangan. Mungkin pelancong
yang sedang kehabisan ongkos. Lalu mengemis untuk biaya pulang ke
negerinya. akan tetapi, untuk berapa lama? Atau jangan-jangan ia adalah
utusan gaib untuk menguji iman manusia di bulan suci ini?
“Di
kota ini, orang yang peduli kepada kami hanyalah sedikit jumlahnya.
Bapak termasuk orang yang sedikit itu. Saya ucapkan banyak terima kasih
atas kebaikan Bapak selama ini. Dan... ini sekedar pemberianku yang
tulus ikhlas. Kutitipkan untuk keluarga Bapak di rumah.”
Orang tua itu mengeluarkan sebuah bungkusan. Isinya lembaran-lembaran uang. Cukup banyak jumlahnya.
“Pak Badrun, saya mohon terimalah pemberianku ini.”
Badrun terkesima. Orang tua di depannya, bagaikan sebongkah magnet yang memencar.
Daya
magnetnya begitu kuat. Badrun terhipnotis. Ia menerima bungkusan itu.
Tanpa banyak komentar, tanpa banyak reaksi, tanpa bicara sepatah kata.
Badrun benar-benar terkesima.
“Pak Badrun... Bapak adalah purnama yang menyinari kota ini. Assalamu’alaikum...”
Orang
tua itu segera berlalu. Jalannya cepat seperti kilat. Ia menghilang
sebelum Badrun menyadari apa yang terjadi pada dirinya.
ANALISIS
Judul Cerpen : Pengemis Misterius
Pengarang : Saefulloh M. Satori
Sumber : Tukan, S.Pd Paulus. 2006. Mahir Berbahasa Indonesia 2 . Jakarta : Penerbit Yudistira
Unsur Intrinsik
1. Tema :
Pada
intinya cerpen ini mengisahkan kehidupan seorang laki-laki yang bernama
Badrun. Badrun bekerja sebagai sol sepatu yang ditinggal mati oleh
istrinya dan harus membanting tulang sendiri untuk mencukupi kebutuhan
anak-anaknya. Badrun merupakan sesosok yang penuh belas kasihan, dan
berhati besar. Walaupun ia tidak mempunyai uang, tetapi merelakan untuk
membantu pengemis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tema cerita pendek ini adalah kedermawanan
2. Alur
Cerita
pendek ini beralur maju , maksudnya pada awal ceritanya itu menjelaskan
tentang kejadian yang dialami seseorang di saat ini. Bisa dilihat dari
jalan cerita yaitu Badrun selalu berusaha dan berikhtiar untuk
mendapatkan kerjaan jahit sepatu, walaupun belum mendapat langganan
tetapi ia selalu berbaik hati memberi sedikit uang kepada pengemis atau
pengamen, dan membantu ibnu sabil yang sedang kesusahan sampai suatu
saat ia mendapat uang dari ibnu sabil tersebut atas kebaikan yang selama
ini ia lakukan kepada setiap orang.
3. Ketegangan dan Pembayangan
Ketegangan
dan pembayangan yang terkandung di dalam cerpen ini memiliki rangkaian
kata atau rangkaian kalimat yang baik, merangsang, sehingga dapat
menimbulkan ketegangan dan pembayangan. Ketegangan dan pembayangan
cerpen ini terdapat pada paragraf berikut ini :
“Di
kota ini, orang yang peduli kepada kami hanyalah sedikit jumlahnya.
Bapak termasuk orang yang sedikit itu. Saya ucapkan banyak terima kasih
atas kebaikan Bapak selama ini. Dan... ini sekedar pemberianku yang
tulus ikhlas. Kutitipkan untuk keluarga Bapak di rumah.”
Orang tua itu mengeluarkan sebuah bungkusan. Isinya lembaran-lembaran uang. Cukup banyak jumlahnya.
“Pak Badrun, saya mohon terimalah pemberianku ini.”
4. Tokoh dan Penokohan
Ø Badrun merupakan tokoh yang sangat dermawan dan ringan tangan membantu terhadap sesamanya
Badrun
mengamati pengemis itu. Tiba-tiba ia terjatuh di dekat trotoar kaki
lima. Hampir saja ia terjerebab dalam blumbangan kotor. Badrun segera
berlari memberikan pertolongan.
Ø Pengemis I merupakan tokoh yang tidak bersyukur atas apa yang ia dapatkan
“Huh! Emang gue ini siape? Masa Cuma dikasih cepe. Keterlaluan. Buat beli rokok sebatang pun ta dapat,”
Ø Pengemis II merupakan tokoh yang menerima apa adanya
“Mungkin dia tidak punya uang kecil selain cepean itu. Masih untung orang itu mau memberi.”
Ø Ibnu Sabil merupakan tokoh yang sangat baik dengan memberi imbalan atas kebaikan Badrun dan terus terang atas keadaan
Orang tua itu mengeluarkan sebuah bungkusan. Isinya lembaran-lembaran uang. Cukup banyak jumlahnya.
5. Latar
Tempat yang menjadi latar cerita pendek ini adalah suasana di pasar dan trotoar kaki lima.
Tiba-tiba
ia terjatuh di dekat trotoar kaki lima. Hampir saja ia terjerebab dalam
blumbangan kotor. Badrun segera berlari memberikan pertolongan.
6. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang ketiga yaitu nama ”Badrun”. Hal
ini dikarenakan pengarang berperan sebagai pelaku yang serba tidak
tahu. Pengarang tidak terlibat erat dengan peristiwa-peristiwa dan
situasi yang muncul dalam cerita.
Badrun memberi uang kepada pengemis. Dengan rasa suka cita, pengemis segera berlalu hingga hilang ke tengah keramaian pasar.
7. Suasana
Suasana
yang terdapat dalam cerpen tersebut adalah suasana menjelang Idul Fitri
dengan penuh harap-harap cemas karena Badrun belum mendapat orderan
jahitan yang biayanya untuk anak-anaknya dirumah, dan cahaya matahari
yang sangat panas
Saat itu matahari sudah berada di atas ubun-ubun langit. Udara kota menyengat pori-pori bumi.
Binatang melata menggelepar-gelepar kepanasan di atas aspal. Peluh dan keringat jatuh bercucuran.
8. Gaya Bahasa
Gaya
bahasa yang dapat dijumpai pada cerpen ini yaitu penggunaan majas
perbandingan yairu majas hiperbola, dan personifikasi. Majas Hiperbola
yaitu gaya bahasa yang maknanya bersifat melebih-lebihkan sesuatu.
Contoh kalimat cerpennya : Udara semakin meranggas dan kota ini, orang sepertiku dianggap seperti kuman penyakit menular
Majas
Personifikasi yaitu gaya bahasa yang maknanya itu mengumpamakan benda
mati itu seolah-olah hidup. Contoh kalimat cerpennya : Saat itu matahari sudah berada di atas ubun-ubun langit.
Unsur Ekstrinsik
1. Latar belakang pendidikan sastrawan
Lulus dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni program Studi Bahasa Arab IKIP (UNJ) Jakarta, tahun 1991, Magister Agama Islam Fakultas Pasca Sarjana Universitas Islam Jakarta
No comments:
Post a Comment
Apabila tidak dimengerti atau salah dalam pengetikan mohon poskan komentar anda Terma Kasih.