Acep adalah putra tertua dari K. H. Ilyas Ruhiat, seorang ulama kharismatis dari Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Ia menikahi seorang santri bernama Euis Nurhayati dan dikaruniai orang anak bernama Rebana Adawiyah, Imana Tahira, Diwan Masnawi,Abraham Kindi. dan Luna. Acep
menghabiskan masa kecil dan remajanya di lingkungan pesantren, melanjutkan pendidikan pada Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, lalu Universitá Italiana per Stranieri, Perugia, Italia. Kini, tinggal di Desa Cipasung, Tasikmalaya. Ada pula karya-karya beliau
- Tamparlah Mukaku! (kumpulan sajak, 1982)
- Aku Kini Doa (kumpulan sajak, 1986)
- Kasidah Sunyi (kumpulan sajak, 1989)
- The Poets Chant (antologi, 1995)
- Aseano (antologi, 1995)
- A Bonsai’s Morning (antologi, 1996)
- Di Luar Kata (kumpulan sajak, 1996)
- Dari Kota Hujan (kumpulan sajak, 1996)
- Di Atas Umbria (kumpulan sajak, 1999)
- Dongeng dari Negeri Sembako (kumpulan puisi, 2001)
- Jalan Menuju Rumahmu (kumpulan sajak, 2004)
- Menjadi Penyair Lagi (antologi, 2007)
- Penghargaan Penulisan Karya Sastra Depdiknas (2000)
- South East Asian (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (2005)
- Khatulistiwa Literary Award (2007)
- Hadiah Sastra Rancage 2012 untuk kumpulan sajak Paguneman
Ajip Rosidi (baca: Ayip Rosidi), (lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938; umur 78 tahun) adalah sastrawan Indonesia, penulis, budayawan, dosen, pendiri, dan redaktur beberapa penerbit, pendiri serta ketua Yayasan Kebudayaan Rancage. Ajib Rosidi mulai menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Jatiwangi (1950), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953) dan terakhir, Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956). Meski tidak tamat sekolah menengah, namun dia dipercaya mengajar sebagai dosen di perguruan tinggi Indonesia, dan sejak 1967, juga mengajar di Jepang [4]. Pada 31 Januari 2011, ia menerima gelar Doktor honoris causa bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Ajip mula-mula menulis karya kreatif dalam bahasa Indonesia, kemudian telaah dan komentar tentang sastera, bahasa dan budaya, baik berupa artikel, buku atau makalah dalam berbagai pertemuan di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Ia banyak melacak jejak dan tonggak alur sejarah sastra Indonesia dan Sunda, menyampaikan pandangan tentang masalah sosial politik, baik berupa artikel dalam majalah, berupa ceramah atau makalah. Dia juga menulis biografi seniman dan tokoh politik.[6]
Ia mulai mengumumkan karya sastera tahun 1952, dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada waktu itu seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Indonesia, Zenith, Kisah, dll. Menurut penelitian Dr. Ulrich Kratz (1988), sampai dengan tahun 1983, Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek yang paling produktif (326 judul karya dimuat dalam 22 majalah).[6]
Bukunya yang pertama, Tahun-tahun Kematian terbit ketika usianya 17 tahun (1955), diikuti oleh kumpulan sajak, kumpulan cerita pendek, roman, drama, kumpulan esai dan kritik, hasil penelitian, dll., baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda, yang jumlahnya sekitar seratus judul.[6]
Karyanya banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, dimuat dalam bunga rampai atau terbit sebagai buku, a.l. dalam bahasa Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Perands, Kroatia, Rusia, dll.
Ada ratusan karya Ajip. Beberapa di antaranya: [3]
3. Ayatroehedi- Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955)
- Ketemu di Jalan (kumpulan sajak bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, 1956)
- Pesta (kumpulan sajak, 1956)
- Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen, 1956)
- Sebuah Rumah buat Haritua (kumpulan cerpen, 1957)
- Perjalanan Penganten (roman, 1958, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh H. Chambert-Loir, 1976; Kroatia, 1978, dan Jepang oleh T. Kasuya, 1991)
- Cari Muatan (kumpulan sajak, 1959)
- Membicarakan Cerita Pendek Indonesia (1959)
- Surat Cinta Enday Rasidin (kumpulan sajak, 1960);
- Pertemuan Kembali (kumpulan cerpen, 1961)
- Kapankah Kesusasteraan Indonesia lahir? (1964; cetak ulang yang direvisi, 1985)
- Jante Arkidam jeung salikur sajak lianna (kumpulan sajak, bahasa Sunda, 1967);
- Jeram (kumpulan sajak, 1970);
- Jante Arkidam jeung salikur sajak lianna (kumpulan sajak, bahasa Sunda, 1967)
- Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia (1969)
- Ular dan Kabut (kumpulan sajak, 1973);
- Sajak-sajak Anak Matahari (kumpulan sajak, 1979, seluruhnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh T. Indoh, dan dimuat dalam majalah Fune dan Shin Nihon Bungaku (1981)
- Manusia Sunda (1984)
- Anak Tanahair (novel, 1985, terjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Funachi Megumi, 1989.
- Nama dan Makna (kumpulan sajak, 1988)
- Sunda Shigishi hi no yume (terjemahan bahasa Jepang dari pilihan keempat kumpulan cerita pendek oleh T. Kasuya 1988)
- Puisi Indonesia Modern, Sebuah Pengantar (1988)
- Terkenang Topeng Cirebon (kumpulan sajak, 1993)
- Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan (1995)
- Mimpi Masasilam (kumpulan cerpen, 2000, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang)
- Masa Depan Budaya Daerah (2004)
- Pantun Anak Ayam (kumpulan sajak, 2006)
- Korupsi dan Kebudayaan (2006)
- Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam dalam Kenangan (otobiografi, 2008)
- Ensiklopédi Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya. 2000
Ayatrohaedi (lahir di Jatiwangi, Majalengka, 5 Desember 1939 – meninggal di Sukabumi, 18 Februari 2006 pada umur 66 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia yang banyak menghasilkan karya dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda.
Ia menjadi mahasiswa Fakultas Sastra tahun 1959 mengambil Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuna Indonesia (sekarang Arkeologi). Setelah lulus tahun 1964 bekerja di Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di Mojokerto. Pernah menjadi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung selama lima tahun, kemudian tahun 1972 kembali lagi ke Fakultas Sastra UI. Pada tahun 1978 meraih gelar doktor dari UI dengan mengajukan disertasi berjudul Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa. Menurut promotornya Prof. Dr. Amran Halim, disertasi ini merupakan disertasi pertama mengenai dialektologi di Asia Tenggara.
Ayatrohaedi pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Arkeologi (1983-1987), Pembantu Dekan Bidang Akademik (1999-2000), Pembantu Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) selama lima tahun (1989-1994). Ayatrohaedi juga banyak terlibat dalam kegiatan di bidang kebahasaan, kesusastraan, kesejarahan, kebudayaan dan kepurbakalaan.
Ayatrohaeswqdi mulai menulis karya sastra (puisi, prosa) dalam bahasa Sunda tahun 1955 dan dalam bahasa Indonesia 1956.
Hingga saat ini karyanya yang telah terbit antara lain:
Karyanya dalam bahasa Indonesia antara lain:
- Panji Segala Raja (1974),
- Pabila dan di mana (1976),
- Senandung Ombak (terjemahan, 1976),
- Kacamata Sang Singa (terjemahan, 1977).
- Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa (disertasi 1978, diterbitkan 1985),
- Dialektologi: Sebuah Pengantar (1979, 1981),
- Tatabahasa Sunda (terjemahan karya D. K. Ardiwinata, 1985),
- Tatabahasa dan Ungkapan Bahasa Sunda (terjemahan karya J. Kats dan R. Suriadiraja, 1986).
- 1980. “Tradisi sastra Sunda Buhun”, dalam Meutia F. Swasono, Wardiningsih Soerjohardjo, dan Ayatrohaedi (redaksi), Yang Tersirat dan Tersurat: Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1940 – 1980: 143-52. Jakarta: Fakultas Sastra UI
- 1986. Serat Dewabuda. Laporan Hasil Penelitian untuk Proyek Penelitian Kebudayaan Sunda. Tidak diterbitkan.
- 1986. “Kebenaran Sejarah” Naskah-naskah Panitia Wangsakerta. Makalah disampaikan pada Diskusi Ilmiah Keabsahan Naskah-naskah Sumber Sejarah Tarumanagara, diselenggarakan oleh Universitas Tarumanagara, Jakarta 17 September 1988.
- 1986. Naskah dan Sejarah. Makalah disampaikan pada Gotrasawala (=Seminar) Pengajian Naskah-naskah Kuna Jawa Barat sebagai sumbangan Kepada Sejarah Nasional, diselenggarakan oleh Universitas Pasundan, Bandung 23 Januari 1989.
- 1994. Jatiniskala: Pengantar, Alihaksara, dan Terjemahan Naskah K.422 Khazanah Museum Nasional. Laporan Penelitian untuk Fakultas Sastra UI, Depok. Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Ahmad Darsa
- 1986. Kawih Paningkes dan Jatiniskala. Laporan penelitian untuk Bagian Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Sunda, Bandung. Edi S. Ekajati (=Ekadjati)
- 1982. Ceritera Dipati Ukur: Karya sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya. Edi S. Ekajati (editor)
- 1986. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan The Toyota Foundation. Edi S. Ekajati, Wahyu Wibisana, Ade Kosmaya Anggawisastra
- 1985. Naskah Sunda Lama Kelompok Babad. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Ayatrohaedi (lahir di Jatiwangi, Majalengka, 5 Desember 1939 – meninggal di Sukabumi, 18 Februari 2006 pada umur 66 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia yang banyak menghasilkan karya dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda.
Ia menjadi mahasiswa Fakultas Sastra tahun 1959 mengambil Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuna Indonesia (sekarang Arkeologi). Setelah lulus tahun 1964 bekerja di Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di Mojokerto. Pernah menjadi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung selama lima tahun, kemudian tahun 1972 kembali lagi ke Fakultas Sastra UI. Pada tahun 1978 meraih gelar doktor dari UI dengan mengajukan disertasi berjudul Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa. Menurut promotornya Prof. Dr. Amran Halim, disertasi ini merupakan disertasi pertama mengenai dialektologi di Asia Tenggara.
Ayatrohaedi pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Arkeologi (1983-1987), Pembantu Dekan Bidang Akademik (1999-2000), Pembantu Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) selama lima tahun (1989-1994). Ayatrohaedi juga banyak terlibat dalam kegiatan di bidang kebahasaan, kesusastraan, kesejarahan, kebudayaan dan kepurbakalaan.
Ramadan pernah bekerja selama 13 tahun sebagai wartawan Antara. Lalu, dia minta berhenti karena tak tahan melihat merajalelanya korupsi waktu itu. Dia tercatat sebagai mahasiswa ITB dan Akademi Dinas Luar Negeri di Jakarta, kedua-duanya tidak tamat. Dia juga pernah bertugas sebagai Redaktur Majalah Kisah, Redaktur Mingguan Siasat dan Redaktur Mingguan Siasat Baru.
Semasa hidupnya Ramadan terkenal sebagai penulis yang kreatif dan produktif. Ia banyak menulis puisi, cerpen, novel, biografi, dan menerjemahkan serta menyunting.
Kumpulan puisinya yang diterbitkan dengan judul "Priangan Si Djelita" (1956), ditulis saat Ramadan kembali ke Indonesia dari perjalanan di Eropa pada 1954. Kala itu, ia menyaksikan tanah kelahirannya, Jawa Barat, sedang bergejolak akibat berbagai peristiwa separatis. Kekacauan sosial politik itu mengilhaminya menulis puisi-puisi tersebut.
Sastrawan Sapardi Djoko Damono, menilai buku tersebut sebagai puncak prestasi Ramadan di dunia sastra Indonesia. Menurut Sapardi, buku itu adalah salah satu buku kumpulan puisi terbaik yang pernah diterbitkan di Indonesia. "Dia adalah segelintir, kalau tidak satu-satunya, sastrawan yang membuat puisi dalam format tembang kinanti," papar Sapardi.
Pada tahun-tahun terakhir hidupnya Ramadan tinggal di Capetown mengikuti istrinya, Salfrida Nasution, yang bertugas sebagai Konsul Jenderal Republik Indonesia di kota itu. Sebelumnya ia pernah tinggal di Los Angeles, Paris, Jenewa, dan Bonn, menyertai istrinya yang terdahulu, Pruistin Atmadjasaputra, juga seorang diplomat, yang dikenal dengan panggilan "Tines". Tines, yang dinikahinya pada 1958, mendahuluinya pada 10 April 1990 di Bonn, Jerman. Setelah ditinggal istrinya, pada tahun 1993 Ramadan menikah kembali dengan Salfrida, seorang sahabat istrinya yang pernah menyumbangkan darahnya ketika Tines sakit.
Pada tahun 1965 Ramadan sempat ditahan selama 16 hari di Kamp Kebon Waru, Bandung, bersama-sama dengan Dajat Hardjakusumah, ayah kelompok pemusik Bimbo yang saat itu menjabat pimpinan Kantor Antara Cabang Bandung.
Keduanya ditahan karena dilaporkan bertemu A. Karim DP dan Satyagraha, pimpinan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat yang masa itu dianggap berideologi kiri dan mendukung G-30-S. Oleh karena itu, mereka juga dianggap pendukung G-30-S. Belakangan ia baru tahu bahwa mereka difitnah kelompok lain dapat menguasai kantor Antara cabang Bandung. Sesudah enam belas hari dalam tahanan, keduanya dibebaskan dan pimpinan pusat Antara memindahkannya ke Jakarta. Ramadan langsung pindah ke Jakarta.
Pada 1982, ketika tinggal di Jenewa, Ramadan dihubungi oleh Kepala Mass Media Sekretariat Negara di Jakarta, Gufran Dwipayana yang mengajaknya untuk menulis biografi Soeharto yang masih menjabat sebagai presiden R.I. waktu itu. Ramadan mula-mula menolak, karena sebagai orang Jawa Barat merasa tak menguasai budaya Jawa, daerah asal Soeharto. Namun Soeharto sudah menjatuhkan pilihan pada Ramadan.
Nama Ramadan dipilih lantaran bukunya, Kuantar ke Gerbang, biografi kisah cinta Inggit Garnasih dengan Presiden Soekarno sangat berkesan bagi Dwipayana, orang dekat Soeharto, yang dipercayai menentukan calon penulis biografi Soeharto.
Selama penulisan biografi Soeharto hanya dua kali Kartahadimadja bertemu dengan orang terkuat pada masa Orde Baru. Pertanyaan di luar pertemuan itu diajukan Kartahadimadja dengan cara merekamnya. Lalu rekaman itu dititipkannya lewat Dwipayana, yang setiap Jumat bertemu Soeharto. Berdasarkan rekaman jawaban itulah Ramadan lebih banyak bekerja.
Penulisan biografi Soeharto membuat Ramadan merasa tertekan, tak sama dengan ketika dia menulis buku biografi tokoh lain. Dia merasa berat melakukannya karena takut salah tulis atau malah ditangkap.
Ramadan biasanya mengajak seorang atau lebih penulis lain untuk menulis biografi. Selain meringankan tugas, sekiranya dia berhalangan, sakit, atau meninggal dunia, penulisan buku itu tidak terhenti.
Tidak selamanya perjalanan Ramadan dalam menulis berjalan mulus. Rencana menulis biografi Ibnu Soetowo, mantan Direktur Utama Pertamina, dan Wiweko, tokoh penerbangan nasional, gagal lantaran perselisihan antara narasumber dengan rekan Kartahadimadja yang membantunya menulis. Penulisan biografi Yulia Sukamdani juga batal karena permintaan suaminya.
Setelah Tines berpulang, Ramadan kembali ke Indonesia bersama kedua anaknya. Ia ingin menagih honor kepada Soeharto, tetapi Dwipayana sudah meninggal dunia. Sekretaris Militer Presiden Syaukat Banjaransari menyarankannya agar menulis surat langsung kepada Presiden. Beberapa hari kemudian datang telepon dari Kolonel Wiranto, ajudan Presiden Soeharto. Ia diminta datang ke Jl. Cendana. Bersama Gumilang ia datang, masuk ke halaman, langsung diberi mobil Honda Accord warna merah. Mobil baru dengan jok terbungkus plastik. Namun Soeharto tidak menemuinya. Mereka hanya bertemu di depan garasi dan terbatas dengan Wiranto.
Pada hari-hari terakhirnya, Ramadan kembali menekuni kegemarannya pada masa lalu, melukis. Salah satu tema lukisan kesayangannya adalah rangkaian pegunungan di belakang rumahnya di Cape Town.
Ia meninggal dunia tepat pada peringatan hari kelahirannya yang ke-79 tahun. Ia meninggalkan istrinya, Salfrida, dua orang putra dari Tines, Gilang Ramadhan dan Gumilang, dan lima orang cucu.
Ramadan pernah mendapatkan sejumlah penghargaan, antara lain "Hadiah Sastra ASEAN" (Southeast Asia Write Award) pada 1993. Pada tahun 2001 ia diangkat menjadi anggota kehormatan Perhimpunan Sejarahwan Indonesia. Selain itu Ramadan juga merupakan salah seorang anggota Akademi Jakarta.
Karya
Biografi
- Kuantar ke Gerbang: kisah cinta kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (1981)
- Gelombang hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982)
- Soeharto pikiran, ucapan, dan tindakan saya: otobiografi (1988)
- A.E. Kawilarang - untuk Sang Merah Putih: pengalaman, 1942- 1961 (1988)
- Bang Ali demi Jakarta (1966-1977): memoar (1992)
- Hoegeng, polisi idaman dan kenyataan: sebuah autobiografi (ditulis bersama dengan Abrar Yusra) (1993)
- Soemitro, mantan Pangkopkamtib: dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib (1994)
- Gobel, pelopor industri elektronika Indonesia dengan falsafah usaha pohon pisang (1994)
- Sjamaun Gaharu, cuplikan perjuangan di daerah modal: sebuah autobiografi (ditulis bersama dengan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu) (1995)
- D.I. Pandjaitan, pahlawan revolusi gugur dalam seragam kebesaran: biografi (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (1997)
- Demi bangsa - liku-liku pengabdian Prof. Dr. Midian Sirait: dari guru SR Porsea sampai Guru Besar ITB (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (1999)
- H. Priyatna Abdurrasyid - dari Cilampeni ke New York: mengikuti hati nurani (2001)
- H. Djaelani Hidajat - dari tukang sortir pos sampai menteri: sebuah otobiografi (ditulis bersama dengan Tatang Sumarsono) (2002)
- Pergulatan tanpa henti - Adnan Buyung Nasution (dibantu dituliskan oleh Ramadan K.H. dan Nina Pane) (2004)
- Rojan revolusi (1971)
- Kemelut hidup (1977)
- Keluarga Permana (1978)
- Ladang Perminus (1990)
5. Toto sudarto Bachtiar
Toto Sudarto Bachtiar (lahir di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929 – meninggal di Paris, Perancis, 9 Oktober 2007 pada umur 77 tahun) adalah penyair Indonesia yang seangkatan dengan W.S. Rendra. Penyair angkatan 1950-1960-an ini dikenal masyarakat luas dengan puisinya, antara lain Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, dan Tentang Kemerdekaan.
Karya beliau
- Suara: kumpulan sajak 1950-1955, 1956, memenangkan Hadiah Sastra BMKN
- Etsa (kumpulan sajak, 1958)
- Datang dari masa depan: 37 penyair Indonesia (2000)
Terjemahan
- Pelacur (1954), terjemahan karya Jean Paul Sartre
- Sulaiman yang Agung (1958), terjemahan karya Harold Lamb
- Bunglon (1965), terjemahan karya Anton Chekhov
- Bayangan Memudar (1975), terjemahan karya Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa
- Pertempuran Penghabisan (1976), terjemahan karya Ernest Hemingway
- Sanyasi (1979), terjemahan karya Rabindranath Tagore
6. Eko Budihardjo
Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc (lahir di Purbalingga, Banyumas, 9 Juni 1944 – meninggal di Semarang, 22 Juli 2014 pada umur 70 tahun) adalah arsitek, budayawan dan ilmuwan Indonesia yang pernah menjabat sebagai Rektor Undip periode 1998-2006. Eko Budihardjo sering menyajikan makalah dalam berbagai pertemuan ilmiah di mancanegara. Tahun 1993 berkeliling Amerika Serikat mempelajari Konservasi Bangunan Kuno dan Lingkungan Bersejarah dan tahun 1994 ke Australia melakukan studi banding tentang urban management.
Karir
- Kepala Biro Penelitian FT Undip (1978-1989)
- Ketua Jurusan Arsitektur FT Undip (1987-1989)
- Pembantu Dekan I FT Undip (1989-1992)
- Dekan Fakultas Teknik Undip (1992-1998)
- Rektor Undip (1998-2006)
- Purnatugas sebagai Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Fakultas Teknik Undip.
- Guru Besar di Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti, Jakarta.
- Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1969)
- Master of Science in Town Planning University of Wales Institute of Science and Technology, Inggris pada tahun 1978
- Ketua Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
- Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) (2001-2002)
- Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Cabang Jawa Tengah (1987-1992)
- Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Cabang Jawa Tengah (1992-sekarang)
- Anggota dewan Habitat International Council (HIC) Meksiko
- Eastern Regional Organization on Planning and Housing (EAROPH) Malaysia
- International Federation for Housing and Planning (IFHP) Belanda
- Direktur Lembaga Studi Pembangunan Daerah (LSPD)
- Penasihat Ahli Yayasan Bakti Karya (Yabaka)
- Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Tengah
- Anggota Dewan Pembina Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Jawa Tengah
- Presiden Rotary Club Semarang
- Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah.
- Bhakti Upapradana dari Gubernur Jawa Tengah
- Dosen Teladan dari Rektor Undip
- Bintang Emas Budaya dari Pusat Lembaga Kebudayaan Jawi
- Penghargaan dengan pujian dari Ikatan Arsitek Indonesia
Tengku Nasyaruddin Effendy atau lebih dikenal dengan nama Tenas Effendy (lahir di Kuala Panduk, Pelalawan, Hindia Belanda, 9 November 1936 – meninggal di Pekanbaru, Riau, Indonesia, 28 Februari 2015 pada umur 78 tahun) adalah budayawan dan sastrawan dari Riau. Sebagai seorang sastrawan, Effendy telah banyak membuat makalah, baik untuk simposium, lokakarya, diskusi, maupun seminar, yang berhubungan dengan Melayu, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand Selatan, Filipina Selatan, sampai Madagaskar. Effendy sangat menjunjung tinggi dan amat peduli dengan kemajuan dan perkembangan kebudayaan Melayu.
Penguasaannya tentang makna filosofis yang terkandung dalam benda-benda budaya dipelajarinya secara otodidak sejak kecil. Ayahnya, Tengku Sayed Umar Muhammad adalah sekretaris Sultan Hasyim dari Kerajaan Pelalawan. Sejak kecil ia sudah terbiasa hidup dalam lingkungan budaya Melayu yang kental serta adat istiadat istana yang begitu kuat. Kondisi ini telah mendorongnya untuk belajar memahami dan kemudian menulis tentang kebudayaan Melayu. Ia memulai dari menulis kembali pantun-pantun, Petata-petitih, Ungkapan, Syair, Gurindam, dan segala macam yang berkenaan dengan kebudayaan Melayu.
Tenas Effendy pertama kali menulis tentang kebudayaan pada tahun 1952. Pada saat itu ia masih belajar di sebuah perguruan di Bengkalis. Ketertarikan dan minatnya terhadap kebudayaan Melayu tidak terlepas dari keluarganya yang mencintai adat istiadat Melayu, neneknya adalah seorang pembaca syair yang terkenal pada masanya. Selain pandai membaca syair, neneknya juga pandai dalam menenun, menekat pakaian-pakaian tradisional kerajaan Melayu di Pelalawan.
Sejak masa kanak-kanak Tenas Effendy sudah akrab dengan adat istiadat Melayu, sudah menjalani adab dan etika Melayu dalam kehidupan sehari-hari, maka ada semacam kekhawatiran ketika ia melihat, begitu banyak nilai luhur tata pergaulan Melayu sudah tidak lagi diperhatikan masyarakat. Menyadari hal tersebut, ia berusaha mencatat, mengumpulkan kembali, menghimpun melakukan kajian-kajian dan membuat penelitian tentang kebudayaan Melayu dalam bentuk apa saja.
Menyadari bahwa kekayaan khazanah kebudayaan Melayu begitu berlimpah dan masih terlalu banyak yang belum dapat dikumpulkannya, ia mendirikan Tenas Effendy Foundation, sebuah lembaga yang berusaha memberi bantuan pada para peneliti atau siapapun yang berminat melakukan penelitian terhadap berbagai aspek kebudayaan Melayu. Hasil usahanya dalam rentang waktu tersebut, antara lain, setumpuk buku yang diterbitkan di dalam dan luar negeri. Sampai kini, Tenas sedikitnya telah menulis 70-an buku dan ratusan makalah yang dibawakan dalam berbagai pertemuan budaya di dalam dan di luar negeri, seperti Belanda, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Thailand adalah beberapa negara yang kerap mengundangnya untuk berceramah disana. Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, mengundangnya sebagai penulis tamu.
Sejumlah bukunya, juga diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia. Mengingat buku-buku yang ditulis Tenas Effendy menyentuh berbagai aspek kebudayaan Melayu, maka dari 70-an buku yang dihasilkannya itu, hampir separuhnya digunakan sebagai semacam buku pegangan, baik untuk kalangan pelajar dan mahasiswa, maupun untuk masyarakat umum sebagai bahan pendidikan dan tata pergaulan dalam keluarga. Bahkan, sebagian besar Pemda Kabupaten di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, menempatkan buku-buku yang ditulis Tenas Effendy sebagai semacam buku wajib untuk para pegawai Pemda.
Ia tidak sekadar ditempatkan sebagai budayawan yang mumpuni, tokoh adat yang kharismatik, tetapi juga kerap mengundangnya dalam kaitannya dengan kebijakan yang akan disusun dan dijalankan pemda. Tidak jarang pula, Tenas terpaksa harus menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Sebagai tokoh masyarakat, Pak Tenas panggilan akrabnya terlibat pula dalam berbagai aktivitas organisasi kemasyarakatan, baik sebagai ketua, penasihat, maupun pengurus. Yang dilakukan Tenas Effendy tidak sekadar mengumpulkan dan mendokumentasikan segala yang berkaitan dengan khazanah kesusastraan Melayu tapi juga memunculkan kesadaran bahwa kesusastraan adalah salah satu bagian dari sebuah mesin raksasa yang bernama kebudayaan. Sambil mencoba menafsirkan dan memaknai kandungan filosofis di balik khazanah kesusastraan Melayu, ia juga menerjemahkan dan membuka tabir makna berbagai benda budaya.
Tenas sendiri aktif berorganisasi, antara lain:
- Ketua Lembaga Adat Melayu Riau (2000–2005),
- Ketua Dewan Pembina Lembaga Adat Pelalawan (2000–kini),
- Pembina Lembaga Adat Petalangan (1982–kini),
- Penasihat Paguyuban Masyarakat Riau (2001–kini).
Karya
- Upacara Tepung Tawar (1968),
- Lancang Kuning dalam Mitos Melayu Riau (1970),
- Seni Ukir Daerah Riau (1970),
- Tenunan Siak (1971),
- Kesenian Riau (1971),
- Hulubalang Canang (1972)
- Raja Indra Pahlawan (1972),
- Datuk Pawang Perkasa (1973),
- Tak Melayu Hilang di Bumi, (1980),
- Lintasan Sejarah Kerajaan Siak, (1981),
- Hang Nadim, (1982),
- Upacara Mandi Air Jejak Tanah Petalangan, (1984),
- Ragam Pantun Melayu, (1985),
- Nyanyian Budak dalam Kehidupan Orang Melayu, (1986),
- Cerita-cerita Rakyat Daerah Riau, (1987),
- Bujang Si Undang, (1988),
- Persebatian Melayu, (1989),
- Kelakar Dalam Pantun Melayu, (1990)
Penghargaan
- Juara 1 Mengarang Puisi Pada Pekan Festival Karya Budaya Dana Irian Jaya, (1962),
- Juara 1 Pementasan Drama Klasik Pada Pementasan Drama Klasik Festival Dana Irian Jaya, (1962),
- Budayawan Pilihan Sagang (1997),
- Tokoh Masyarakat Terbaik Riau 2002 versi Tabloid Intermezo Award (2002),
- Penghargaan Madya Badan Narkotika Nasional, Jakarta (2003),
- Anugerah Seniman dan Budayawan Riau Pilihan Lisendra Dua Terbilang (LDT)-UIR (2004),
- Anugerah Gelar Sri Budaya Junjungan Negeri, Bengkalis, (2004),
- Tokoh Budayawan Riau Terfavorit (2005),
- Anugerah Budaya; Walikota Pekanbaru, (2005),
- Tokoh Pemimpin Adat Melayu Serumpun, (2005),
- Doktor Persuratan dari Universitas Kebangsaan Malaysia, (2005),
- Penghargaan dari Persatuan Mahasiswa Riau Malaysia, (2005),
- Anugerah Akademi Jakarta (2006)
- Anugerah Sagang untuk kategori Budayawan Terbaik Sagang (1977)
No comments:
Post a Comment
Apabila tidak dimengerti atau salah dalam pengetikan mohon poskan komentar anda Terma Kasih.